PERNIKAHAN SEBUAH LEMBAGA PEMBINAAN IMAN

Pernikahan adalah satu-satunya konsep hidup indah bagi muslim dan muslimah dalam mengarungi hidup bersama yang diajarkan oleh Al Qur’an menurut Sunah Rasul, dan tidak dimiliki oleh ajaran manapun di dunia ini.  Ingatlah bahwa istilah nikah hanya diperkenalkan oleh al Qur’an.

Dilihat dari struktur kerangka, isi, dan tujuan pernikahan maka tidak ada yang menyamai konsep demikian indah tanpa cacat cela.   Namun sayang, keagungan konsep hidup ini banyak diselewengkan, dicampur aduk, ditutup-tutupi dengan sengaja maupun alpa demi kepentingan ego.  Setiap penyelewengan dari konsep ini baik itu nikah sirih, nikah mut’ah, tidak lain adalah zina, yaitu konsep rusak hidup bersama tanpa satu kekuatan hukum. 



Pernikahan berasal dari bahasa qur’an ﻧﺣﺡ  yaitu aj-wa-tun mu-tha-ha-ra-tun, yaitu suatu ikatan hidup bersih tanpa satu motif jahat.  Ia adalah sebuah lembaga pembinaan diri bagi setiap pribadi muslim dan muslimah sehingga nikah juga disebut dengan istilah rabbi.  Yaitu lembaga bimbingan bagi kedua muslim-muslimah yang mendasarkan setiap jejak hidupnya pada ajaran Qur’an menurut Sunah Rasul untuk mencapai pulau cita yang disebut jannah.

Penjelasan dari pengertian di atas adalah demikian:
Hidup tidak lain adalah sebuah ikatan janji yang tertambat di dalam hati, kemudian menggema di setiap ucapan dan menjelma menjadi laku perbuatan sehari-hari, yang kemudian disebut dengan BUDAYA. Sebagai contoh, seorang manusia untuk menjadi mukmin harus mengikrarkan sebuah janji bahwa tidak ada satu ILMU apapun yang akan diamalkan dalam hidup ini kecuali ILMU ALLAH yang dicontohkan oleh Rasul Muhammad, Asyhadu an Laa ilaaha illa-llahu Wa asyhadu anna muhammadan rasullullahu.  Demikian janji hidup sebagai mukmin ini menjadi cat yang mewarnai setiap apa yang mendesir di dalam hati, terucap oleh lisan dan terpampang dalam panggung kehidupan hingga ajal menjelang.  Demikianlah, bahwa hidup ini tidak lain adalah sebuah penetapan terhadap janji yang telah diikrarkan.

Menurun (kata dasar turun, menjadi turunan, atau nazala menjadi tanzil) pada hal yang demikian maka demikianlah sebuah pernikahan adalah sebuah ikatan janji, tidak lebih dari itu, namun janji yang sebenar-benarnya, sepertihalnya  Asyhadu an Laa ilaaha illa-llahu Wa asyhadu anna muhammadan rasullullahu.

Pernikahan sebagai Lembaga Pembinaan Mukmin
Dalam alam pikiran masyarakat, pernikahan adalah suatu cara untuk melegalkan hubungan antara laki-laki dan wanita hidup bersama dalam satu kehidupan rumah tangga. Apa kehidupan rumah tangga yang dimaksud? Tidak lain adalah hidup bersama di bawah satu atap (bahkan atas pertimbangan tertentu kadang “terpaksa” tidak hidup dalam satu atap), menjalani sebuah hubungan suami-istri sehingga menghasilkan keturunan sebagai penerus kelangsungan sejarah.

Bertentangan dengan yang demikian, maka Rasul menuturkan pernikahan dalam satu rangkaian keterangan yang jelas, padat, dan sederhana. Baiti Jannati. Bait merupakan kata benda yang berarti rumah, yang dialih-polakan dari pada dasar abstrak buyuutan atau rumah tangga.  Bait sebagai rumah dalam kata benda abstrak bukan sejenis bangunan.  Namun bait adalah sebuah lembaga seperti halnya organisasi, perkumpulan, dan sejenisnya.  Jannah sendiri adalah sebuah kehidupan (melingkupi ruang dan waktu) yang digambarkan dengan hasanah fie dunya, hasanah fie ahirati. Maka Baiti Jannati adalah sebuah lembaga bagi setiap mukmin untuk mencapai kehidupan hasanah.

Sebagai sebuah lembaga pembinaan, maka dalam proses berdirinya memerlukan sebuah persyaratan dasar yang harus dipenuhi. Persyaratan itu adalah:
1.    Muslim dan Muslimah, sebagai calon yang akan saling membina/membimbing dalam lembaga pernikahan.
2.    Wali Muslim dan Muslimah, sebagai Pembimbing muslim dan muslimah dalam point1 .
3.    Penghulu, yang bertindak sebagai yang memberikan kepastian hukum pada janji ijab-qabul yang diikrarkan.
4.    Saksi dari kedua fihak, yang bertindak sebagai pembela kepastian hukum janji ijab qabul.
5.    Mahar, sebagai bukti sahnya perjanjian ijab-qabul.

Kelima syarat tersebut tidak boleh kurang atau dikurangi.  Tidak adanya satu syarat maka terjadinya cacat hukum atau tidak sah dalam pernikahan tersebut.

Berdasarkan posisi dan fungsinya maka pernikahan adalah perjanjian antara dua orang wali, dalam hal ini wali fihak wanita menuntut satu janji dari wali fihak laki-laki agar anak wanitanya dibina/dibimbing oleh anak dari wali laki-laki  menurut ajaran Qur’an sesuai Sunah Rasul (secara ma’ruf, ma’ruf merupakan kata kerja penderita (yang di-…) dari kata dari ‘arafu, sehingga berarti yang telah diketahui dari Qur’an).  Selanjutnya wali dari fihak laki-laki mengisyaratkan anak laki-lakinya secara ksatria menerima perpindahan tanggung jawab pembimbingan iman dari wali mempelai perempuan selanjutnya menjadi tanggung jawabnya.  Yaitu menjawab sebagai janji pasti “Saya terima nikahnya Adinda…. Binti Ayahanda …., dengan mahar …. dibayar tunai.” di depan saksi dari kedua belah fihak sehingga secara sah menurut hukum dan dicatat oleh penghulu sebagai bukti administrasi oleh Negara.

Pernikahan sebagai wujud Perpindahan Tanggung Jawab Pembinaan Iman
Sebelum menikah, setiap anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi tanggung jawab orang tuanya dalam hal pembinaan IMAN.

“Kullu mauludun yuuladu ‘alal fitrah. Fa abawaikum ….”
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (fitrah berarti kosong, tidak berisi; fitrah=hampa budaya).  Maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi atau Islam satu penataan hidup.

Demikian Rasul menggambarkan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai perincian atas : Surat al Ahzab ayat () : “setiap anak dididik oleh orang tuanya”.

Dalam posisi demikian maka orang tua disebut wali (waliyun), yaitu pembimbing bagi si anak sampai si anak baligh, yaitu mampu menentukan pilihan hidup dan dengan sadar memikul segala konsekuensi atas pilihan hidupnya.

Setelah baligh dan menikah, maka al mu’minun auliya baghduhum ‘alaa baghdin, setiap mukmin adalah pembimbing atas mukmin yang lain.  Maka posisi suami dan istri adalah sama yaitu pembimbing bagi pasangan hidupnya, yaitu libaasun ibarat pakaian yang saling memberi rasa nyaman di segala kondisi cuaca, yaitu menjadi pembangun kehidupan rumah tangga hasanah, yaitu sepertihalnya ummiyiin, sejenis ibu yang menjaga budi keluarga.  Dengan demikian, dalam satu ikatan pernikahan suami mendidik istri dan istri mendidik suami, dalam kerangka Qur’an menurut Sunah Rasul meningkatkan IMAN mencapai hasanah.  Inilah yang dimaksud perpindahan tanggung jawab pendidikan IMAN.  Sehingga orang tua secara langsung sudah terlepas dari tanggung jawab pendidikan iman seperti yang digambarkan dalam hadist sebelumnya.

Selanjutnya dalam urusan lain-lain, dalam hal ini perekonomian keluarga maka ditegaskan ar-rijaalu quwamuna ‘ala nisaa’, yaitu Setiap laki-laki membangunkan kehidupan atas istrinya. Yaitu mengacu pada al Baqarah bahwa suami menanggung nafkah atas istri dan anak yang sedang dikandung atau sudah dilahirkan oleh istrinya. 

Sampai di sini maskulinisme teriak selantang-lantangnya, sebagai perwujudan kemarahan atas hilangnya kekuasaan atas istri. Wah, ini ajaran Feminisme! Lalu bagaimana dengan istri? Apa jadi ratu rumah tangga?  Maka Qur’an menjawab istri adalah pembangun kehidupan berumah tangga seumumnya, menjadi ibu penjaga budi keluarga. Bersama suami mengorganisir zakat satu anggaran belanja keluarga.

--